Orang Dengan HIV, Hanya Manusia Biasa!

Tinggalkan komentar

Sekadar catatan kecil tentang HIV 😀

 

Saya ingat, waktu kali pertama bercerita pada teman, bahwa saya akan ke Kota Merauke. Satu hal yang mereka katakan adalah, bahwa saya harus berhati-hati agar tidak tertular HIV/AIDS. Kemudian saya tanya pada mereka kenapa harus sampai sebegitu khawatirnya? Teman saya kemudian menjawab, bahwa di Papua, para ODHA (Orang Dengan HIV dan Aids) memiliki perasaan sakit hati yang luar biasa, sehingga mereka dengan sengaja mengambil darah mereka dengan jarum suntik, dan menyuntikkannya ke tubuh orang-orang yang sedang naik angkutan umum ataupun di tempat-tempat umum lainnya.

Well, bisa di bilang itu sekadar urban le.gend milik pulau ini. Di Jogja sendiri pun, pernah saya dengar juga, bahwa para ODHA menaruh jarum-jarum suntik yang berisi darah mereka, di bangku-bangku bioskop. Tujuannya? Ya itu tadi, karena mau membagi si virus yang belum ditemukan obat pemberantasnya ini. Dan seperti halnya, sebuah urban legend, pasti sulit dibuktikan kebenarannya. Cerita-cerita tersebut, selalu diawali dengan: sepupunya teman saya, temannya adik saya, atau keponakannya tetangga dari kakak ipar saya, bahkan tidak jarang relasi objek yang diceritakan dengan si pencerita sangat jauh sekali. But, have you heard it from first person? Saya rasa tidak.

Bicara tentang HIV dan AIDS, saya pikir, hampir semua sudah pernah dengar menganai perkara ini. Tapi satu hal yang perlu saya luruskan lebih dahulu, bahwa HIV dan Aids adalah dua hal yang berbeda. HIV adalah si virus itu sendiri, yang menyerang kekebalan tubuh. Sementara AIDS adalah kumpulan penyakit, yang terjadi akibat diserangnya kekebalan tubuh. Jadi orang yang terkena HIV belum tentu berada pada tahap AIDS. Namun, ketika kondisi tubuh sudah sedemikian menurunnya, dan berbagai penyakit sudah menyerang tubuh (biasanya seperti TBC, sariawan mulut, kulit gatal-gatal, dsb) yang sudah tidak lagi dilindungi oleh antibodi, maka kumpulan penyakit itulah yang kemudian disebut tahap AIDS.

Pada proses penularan, virus HIV baru bisa menular jika ia berada pada media-media tertentu. Secara garis besar, media-media virus ini dibagi menjadi dua, yakni media dengan konsentrasi virus yang rendah, seperti keringat, air mata, air seni dan air liur. Dan media dengan konsentrasi virus yang tinggi, seperti darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu. Media-media tersebut memang dapat menghantar virus ke tubuh manusia, tapi perlu diingat, bahwa virus ini adalah virus pecundang. Di mana dia tidak sanggup menyerang antibodi manusia ketika jumlahnya hanya sedikit. Mereka bekerja secara keroyokan, dibutuhkan tujuh liter air liur untuk bisa menularkan HIV dari odha ke tubuh orang sehat. Dan adakah di antara kita yang sanggup melakukan berciuman lama hingga dapat memproduksi tujuh liter air liur?? I gues, nobody!

Selain harus bekerja a la pecundang, yang hobinya keroyokan, virus ini hanya dapat hidup dalam empat kondisi, yakni: (1) dalam suhu tubuh manusia, (2) dalam derajat keasamaan yang seimbang, (3) lingkungan yang lembab), dan (4) tidak ada kontak dengan atmosfir. Begitu salah satunya tidak terpenuhi, semisal sudah ada kontak dengan atmosfir, dalam tiga detik, virus ini akan mati. So, kalau kembali kepada cerita-cerita mengenai ODHA yang hilang akal, dengan menyuntikkan darah mereka dimana-mana, sehingga orang dengan HIV akan semakin banyak, sudah dipastikan itu adalah omong kosong.

Hampir satu bulan belakangan ini, saya mendapatkan pelajaran, bahwa ketidaktahuan kita dapat menyebabkan perilaku buruk terhadap orang lain. Terlebih dengan perkara HIV/AIDS ini. Ketidaktahuan saya mengenai proses penularan, media penularan, dan sebagainya, menyebabkan ketakutan yang luar biasa, mengenai hal-hal yang berbau HIV. Sampai kemudian, saya mengikuti sebuah workshop, dan bertemu langsung dengan ODHA. Dalam workshop tersebut, saya dihadapkan pada pertanyaan: “Apa yang kamu lakukan, seandainya orang yang kamu kenal, dan kamu sayangi, mendatangimu, dan berkata bahwa dirinya telah terinfeksi HIV?”. Dengan penuh idealis, saya katakan bahwa saya akan memeluknya.

Tetapi, tentu saja mudah diucapkan di bibir belum tentu mudah dilakukan. Selanjutnya terjadi adalah, seorang perempuan muda dengan satu anak, yang sudah dua hari duduk satu meja dengan saya, adalah salah seorang yang terinfeksi HIV. Saya cukup kaget pada saat itu, karena tentu saja pemikiran sesorang, tidak selalu dapat berbalik arah, ketika menemukan informasi-informasi baru, terkadang dibutuhkan waktu untuk mencernanya. Kemudian, dengan segenap keberanian saya, saya bertanya padanya “Bolehkah saya memelukmu?” dan dia bilang boleh. Saya memeluknya, untuk menunjukkan pada diri saya sendiri, bahwa memang tindakan saya ini tidak berbahaya.

Si ibu muda dengan satu anak ini, mendapatkan virus ini dari suaminya, yang dulunya sering mengkonsumsi obat-obatan terlarang lewat jarum suntik. Untungnya, anaknya sendiri, tidak ikut tertular, alias negatif dari HIV. Ya, orang dengan HIV bukan berarti kemudian tidak dapat melanjutkan hidup. Tanpa obat sendiri, selama ODHA menjalani gaya hidup sehat, dia dapat bertahan hidup selama beberapa tahun.

Ditemukannya obat ART/ARV membuat harapan ODHA menjadi lebih terbuka luas. Obat ini tentu saja tidak bisa digunakan untuk menyembuhkan, hanya bisa menekan jumlah virus. Ini artinya, ODHA dapat melakukan menajemen virus, yakni mengkonsumsi obat hingga pada jumlah terendah, melakukan hubungan seks dengan pasangan sekali di masa subur tanpa menggunakan kondom. Pada beberapa kasus, manajemen virus seperti ini, dapat berhasil pada percobaan pertama. Tetapi, ketika gagal, manajemen dilakukan dari awal lagi. Namun, yang perlu diingat adalah, sekali ODHA mengkonsumsi ART/ARV, maka seumur hidupnya harus meminum obat tersebut terus menerus. Dua kali sehari pada jam yang sama. Dalam beberapa kasus, ODHA yang menjalani hidup sehat, dan mengkonsumsi ART/ARV secara teratur dapat hidup hingga belasan bahkan puluhan tahun.

Merauke, 27 Oktober 2010

Menyambangi Keturunan Prajurit Mataram

Tinggalkan komentar

Penduduk Kampung Laut percaya Gua Masigit Sela dapat dijadikan tempat ngalap berkah.

Pertama kali mendengar nama Kampung Laut, yang terekam dalam benak saya adalah sebuah permukiman perahu, tempat keturunan suku-suku pelaut, seperti Bugis atau Bajau. Namun, tidak demikian yang saya temukan di Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Para penghuni perkampungan yang terletak di tengah-tengah perairan Segara Anakan ini dipercaya sebagai keturunan para prajurit Kerajaan Mataram.

Rasa penasaran terhadap perkampungan yang letaknya berdekatan dengan Pulau Nusakambangan itu menjadi faktor utama saya untuk menjelajahinya. Ini bukan perkara mudah. Untuk mengunjungi Kampung Laut, saya bersama lima teman harus menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan. Walau demikian, kegairahan yang besar menyertai perjalanan kami.

Sebenarnya ada dua rute menuju Kampung Laut yang cukup mudah. Pertama, melalui Pelabuhan Sleko, Kabupaten Cilacap, dan kedua, lewat Pelabuhan Majingklak di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Dari Sleko, perjalanan menuju Kampung Laut menggunakan compreng(perahu motor) dan memakan waktu sekitar 90 menit. Sedangkan dari Majingklak hanya butuh waktu sekitar 20 menit.

Namun, kedua jalur tersebut tidak kami gunakan dalam perjalanan ini. Kebetulan salah seorang kawan bermukim di Kelurahan Donan, Kecamatan Cilacap Tengah, yang menjadi tempat kami menginap. Karena itu, kami harus mengawali perjalanan dari rute lain. Maka perjalanan pun dimulai dari sungai di Kelurahan Donan, yang bermuara ke Segara Anakan. Kawan perjalanan kami bertambah, yakni pengemudi comprengyang meminjamkan perahunya cuma-cuma–ditambah beberapa pemuda sekitar. Ya, hitung-hitung pemuda setempat ini menjadi pemandu perjalanan kami.

Dengan rute dari arah Cilacap Tengah ini, waktu yang harus kami tempuh untuk menuju Kampung Laut menjadi semakin panjang, yakni empat jam! Apalagi ditambah dengan adanya mitos penduduk sekitar mengenai Segara Anakan. “Kalau baru pertama kali naik perahu di Segara Anakan, dilarang tidur di perahu. Nanti bisa nggak pulang,” tutur Aris, salah seorang pemuda Donan yang ikut bersama kami. Terbayang sudah kebosanan dan keletihan yang harus kami tanggung. 

Sebenarnya waktu perjalanan yang lama ini bukan hanya karena jauhnya rute. Namun, perahu motor yang kami gunakan sesekali harus berhenti sejenak untuk mendinginkan mesin. Pada waktu-waktu seperti ini, kami mencoba mengikuti tingkah Aris dan teman-temannya, berenang seraya mencari kerang yang beraneka ragam. Ya, perairan Segara Anakan memang terkenal sebagai penghasil kerang.

“Kerang-kerang dari sini biasanya langsung dikirim ke Bali,” tutur Aris, yang sehari-hari memang bekerja sebagai pencari kerang.

Tidak seperti dugaan semula, perjalanan kami ternyata jauh dari rasa bosan dan jenuh. Sepanjang perjalanan, sisi kiri dan kanan kami dipenuhi dengan tanaman bakau. Selain itu, memasuki kawasan hutan Nusakambangan, sesekali tampak elang laut terbang di angkasa. Keduanya menjadi pemandangan menarik bagi kami, yang sehari-hari hidup di perkotaan yang padat dan menjemukan.

Tak terasa kami pun tiba di Desa Klaces, salah satu desa yang menjadi bagian Kampung Laut. Pemilik perahu menyarankan kami turun sejenak ke desa ini untuk melihat Gua Masigit Sela, yang juga dikenal dengan nama Masjid Sela. Karena bentuk gua menyerupai ruangan masjid, banyak yang menyamakan gua ini dengan masjid. Apalagi di dalam gua ini terdapat tempat imam dan tempat berwudu yang airnya berasal dari sebuah sumber.

Masyarakat setempat percaya gua ini dapat dijadikan tempat ngalap (meminta) berkah. Ternyata tidak hanya penduduk Desa Klaces, warga dari tempat lain, bahkan yang di luar Kabupaten Cilacap, pun meyakininya. Maka, tak mengherankan, pada malam Jumat Kliwon, Selasa Kliwon, ataupun pada hari-hari yang dianggap sakral, Gua Masigit Sela ramai dikunjungi orang dari berbagai daerah. Atas kejelian Pemerintah Kabupaten Cilacap melihat fenomena ini, Gua Masigit Sela dijadikan salah satu destinasi wisata spiritual andalan Cilacap.

Setelah melihat Gua Masigit Sela, kami kembali ke compreng untuk meneruskan perjalanan menuju Desa Ujungalang, yang juga masih bagian dari Kecamatan Kampung Laut. Sementara di Desa Klaces, kami melihat hamparan sawah, di Desa Ujungalang kami menyaksikan tumpukan kulit kerang di setiap sudut desa. Bahkan sebagian dari jalan setapak tertutupi kulit kerang.

Menurut penduduk setempat, yang kami jumpai di sebuah warung kopi, penduduk Kecamatan Kampung Laut merupakan keturunan para prajurit Kerajaan Mataram. Konon, menurut cerita yang diwariskan secara turun-temurun, prajurit Mataram dikirim ke perairan Segara Anakan untuk mengamankan kawasan tersebut dari gangguan bajak laut orang Portugis. Empat pemimpin turut mengiringi pasukan ini, yakni Jaga Playa, Jaga Praya, Jaga Resmi, dan Jaga Laut. Di bawah kepemimpinan empat orang ini, perairan Cilacap dan Segara Anakan aman dari gangguan para perompak.

Setelah keadaan wilayah perairan tersebut aman, para prajurit itu memutuskan tidak kembali ke pusat kerajaan. Mereka memilih bermukim di Pulau Nusakambangan. Namun, seiring dengan berkembangnya kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di Pulau Jawa dan melemahnya kekuatan Kerajaan Mataram, banyak daerah yang semula di bawah Kerajaan Mataram beralih dikuasai oleh Hindia Belanda. Cilacap dan Nusakambangan termasuk di dalamnya. Pada masa itu, para penjahat, pemberontak, atau siapa pun yang dianggap melanggar hukum pemerintahan Hindia Belanda dibuang ke Pulau Nusakambangan.

Keberadaan para narapidana di Pulau Nusakambangan ini ternyata menciptakan konflik antara mereka dan keturunan para prajurit itu. Lama-kelamaan keturunan prajurit kerajaan memutuskan menyingkir dari Pulau Nusakambangan, kemudian membuat rumah-rumah panggung dari kayu tancang di atas perairan Segara Anakan. Seiring dengan berjalannya waktu, rumah panggung pun terus bertambah dan akhirnya membentuk perkampungan. Dari sinilah nama Kampung Laut berasal.

“Sekitar 30 tahun yang lalu, kami secara perlahan pindah ke daratan-daratan yang ada di sekitar Segara Anakan,” tutur sang pemilik warung kopi, yang juga ketua rukun warga setempat. Kepindahan dari perairan ke daratan ini, menurut dia, karena beberapa hal, antara lain semakin sulitnya mendapatkan kayu tancang untuk bahan bangunan rumah. Selain itu, pendangkalan yang terjadi pada perairan akibat sedimentasi lumpur yang dibawa dari sungai-sungai yang mengalir ke Segara Anakan menyebabkan rumah panggung mereka menjadi lebih cepat rusak.

Kampung Laut secara administratif merupakan kecamatan yang membawahkan empat wilayah desa, yakni Klaces, Ujung Gagak, Panikel, dan Ujungalang.

“Baru sekitar tiga tahun yang lalu secara administratif kami diakui oleh pemerintah,” tutur Ketua RW 02 Desa Ujungalang itu.

Agak memprihatinkan, memang. Masyarakat yang telah ada sekian lama ternyata baru diakui oleh negara sekitar tiga tahun lalu. Ini artinya fasilitas penunjang kesejahteraan dari pemerintah, seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan, pun belum lama ada. Maka tak aneh, ketika melihat sekeliling Desa Ujungalang, rumah-rumah dari kayu yang tak terawat, bahkan hampir roboh, menjadi pemandangan yang biasa.

Tampaknya sejarah ketersingkiran yang dialami masyarakat Kampung Laut terus berulang. Dulu mereka harus menyingkir dari Pulau Nusakambangan ke perairan karena merasa terganggu oleh tingkah laku para narapidana. Lalu, lantaran keterbatasan sumber daya alam dan pendangkalan Segara Anakan, mereka pun harus kembali mencari daratan yang bisa menampung mereka.

Kondisi Kampung Laut saat ini pun tidak bisa dikatakan makmur. Rumah-rumah dari kayu, yang sudah mengelupas di tiap-tiap temboknya dan kurang terawat, cukup menggambarkan kemiskinan yang mereka alami. Seiring dengan pengendapan pada Segara Anakan, penduduk di sebagian kawasan di Kampung Laut harus beralih mata pencaharian, dari nelayan menjadi petani. Sesuatu hal yang di luar kebiasaan mereka.

Sementara itu, sebagian yang lain mencoba bertahan menjadi nelayan, meski semakin hari hasil ikan tangkapan kian berkurang. Perubahan mata pencaharian dari nelayan menjadi petani pun tidak bisa dikatakan tanpa kendala. Pembalakan liar di hutan Nusakambangan menyebabkan terjadinya kerusakan hutan. Ini berakibat mengeringnya sumber air yang biasanya untuk memenuhi kebutuhan Kampung Laut pada musim kemarau.

nb: Tulisan ini sudah pernah di tampilkan di Koran Tempo pada Senin, 25 Mei 2009

Gua Jomblang: Keindahan di Bawah Perbukitan Karst

Tinggalkan komentar

Rasa waswas begitu bergelora ketika tubuh melayang di udara.

Dulu Gua Jomblang tempat yang menakutkan, kini menyimpan potensi pariwisata karst pesisir selatan Jawa. Betulkah? Didasari rasa ingin tahu yang besar, akhir pekan, 15 November 2008, kami membuktikannya.

Gua Jomblang adalah salah satu dari ratusan kompleks perguaan bawah tanah, berada persis di tengah-tengah rentangan perbukitan karst pesisir selatan yang memanjang dari Gombong, Jawa Tengah; pantai selatan Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta; hingga kawasan karst Pegunungan Sewu, Pacitan, Jawa Timur. Kawasan karst yang diyakini sebagai hunian manusia purba muda pada 70-80 abad silam itu memiliki keindahan luar biasa. Karena itu, tak salah jika kawasan karst ini diajukan sebagai warisan dunia (world heritage).

Gua Jomblang itu sendiri terhubung dengan gua-gua di sekitarnya, yang membentuk jaringan besar sungai-sungai bawah tanah. Sejumlah pakar geologi menandai gua-gua ini kaya akan ornamen bebatuan dan kehidupan biota hayati di dalamnya.

Hari itu, bersama kelompok penelusur gua, Acintyacunyata Speleological Club (ASC) Yogyakarta, kami berkumpul di mulut gua, di Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kesan pertama, mulut gua vertikal itu sangat besar. Bisa dibilang kelilingnya hampir sebesar lapangan bola. Hanya, gua itu membentuk luweng alias sumuran berdiameter 100 meter dengan kedalaman 40-80 meter.

Untuk memasuki gua ini diperlukan kemampuan teknik tali tunggal atau single rope technique (SRT). Namun, bagi yang belum memiliki kemampuan SRT secara memadai, dapat memilih jalur penelusuran yang kedalamannya lebih pendek.

Tentu kerja sama tim tak dapat diabaikan dalam perjalanan menuju dasar gua. Ketika salah seorang mulai berkait pada temali untuk menuruni dinding gua, sejumlah teman harus menjagai temali paling atas tetap terpaut pada sebuah batu besar atau pohon jati tua. Yang lain akan menjaga kondisi temali di bawahnya dan orang yang menggunakannya tetap dalam kondisi aman.

Sebelum semua anggota sampai ke dasar gua, hujan telah turun mengguyur. Hal ini mempersulit sebagian anggota karena lintasan yang harus kami lalui berupa bebatuan terjal, yang licin akibat siraman air hujan. Kondisi lintasan ini sempat membuat hati saya ciut. Sebab, pada saat yang sama, saya teringat cerita tentang meninggalnya seorang anggota pencinta alam dari sebuah sekolah menengah atas di Yogyakarta beberapa tahun silam. Ia tewas karena tergelincir.

“Jangan panik. Apa pun yang terjadi, jangan pernah panik,” ujar salah seorang teman, sambil mengecek peralatan pengaman yang saya gunakan untuk turun.

Tentu siapa saja dapat menuruni dinding gua hingga ke dasarnya, kecuali para pengidap takut ketinggian. Saya yang sebelumnya hanya berbekal latihan temali pada sebuah pohon jati saja pun dapat mencapai dasar gua tak lebih dari 20 menit. Rasa waswas begitu bergelora, ketika tubuh melayang di udara, dengan sepenuhnya bergantung pada kekuatan tali yang dilengkapi alat panjat tebing, seperti scroll, jammer, dan descendeur. Memasuki gua juga memerlukan kewaspadaan terhadap hewan berbisa, seperti ular, kalajengking, dan lipan.

Akhirnya, semua anggota rombongan sampai di dasar gua. Panorama masih terlihat jelas dan terang saat kami mencapai dasar gua. Namun, kami belum banyak menjumpai ornamen gua di zona terang ini.

Kami beristirahat sejenak di sebuah cekungan, yang mirip bilik, hasil bentukan alam. Di situ kami menyeduh kopi dan merebus mi instan yang kami bawa dari atas, sambil mengamati keadaan sekeliling. Tumbuhan perdu tumbuh subur di sisi-sisi dinding gua yang masih terkena sinar matahari. Di salah satu sudut, sebuah lorong gelap menanti kami untuk menjelajahi setiap rongga kemisteriusannya.

Saya kemudian teringat cerita seorang teman tentang kisah kelam yang melekat pada Gua Jomblang. Gua ini menjadi tempat yang menakutkan setelah dijadikan lokasi pembunuhan massal orang-orang yang dianggap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia. Diperkirakan ratusan warga desa setempat menemui ajalnya setelah dijatuhkan ke dasar Gua Jomblang dan Gua Grubug yang terhubung dengannya. Gemuruh sungai bawah tanah menelan jasad korban dan menghanyutkannya hingga ke pantai selatan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Setelah tragedi itu, penduduk setempat takut masuk ke dalam gua. Mereka menganggapnya keramat. Bahkan pernah terbetik kabar tentang sejumlah warga yang mencoba masuk dan tidak kembali tanpa diketahui penyebabnya. Masyarakat kemudian menggelar doa bersama dan memberi seserahan yang dilemparkan ke dalam gua. Setelah itu, mereka baru berani menelusuri Gua Jomblang. Di dasar gua, mereka menemukan sisa-sisa tulang manusia dan bekas pakaian. Bulu kuduk saya sempat berdiri ketika saya mengingat cerita itu.

Kami melanjutkan penelusuran, meninggalkan zona terang, perlahan-lahan memasuki kegelapan. Suhu gua mulai stabil karena sudah jauh dari pengaruh sinar matahari.

Saya sempat dibuat terheran-heran melihat sebuah jalan batu yang terangkai cukup rapi di dalam lorong. Menurut cerita masyarakat setempat, gua ini sempat direncanakan menjadi lapangan tenis pada masa Orde Baru. Fasilitasnya dilengkapi lift untuk mempermudah akses ke dasar gua. Entah berapa besar kerusakan yang terjadi jika rencana itu benar-benar dilaksanakan.

Pada satu titik, kami mencapai sebuah zona gelap yang tak ada bedanya kala kami memejamkan atau membuka mata. Kegelapan ini semakin dalam ketika kami bersama-sama berdiam diri sejenak. Keheningan dalam kegelapan terasa begitu indah. Seolah membersihkan diri dari segala bising dan hiruk-pikuk dunia luar. Kegelapan ini menyadarkan betapa kecilnya kami sebagai manusia dibanding karya agung Sang Pencipta ini.

Sebenarnya kami belum cukup puas menikmati keheningan, tapi perjalanan harus dilanjutkan. Alur sungai bawah tanah yang menjadi patokan, kembali kami telusuri untuk menuju luwengberikut yang menjadi pintu keluar Gua Jomblang.

Kami pun sampai di ujung lorong besar tersebut, yang ternyata terhubung ke mulut Gua Grubug. Semburat cahaya masuk dari mulut gua di atasnya, menerobos dedaunan liar. Sinarnya tepat menerangi hamparan bebatuan purba di dasar gua, atau bisa disebutsunbeam. Tampaklah apa yang disebut-sebut orang sebagai sebuah mahakarya Sang Pencipta. Sinar tersebut menyentuh sejumlah gourdem, ornamen bebatuan berdimensi besar yang terbentuk atas hasil tetesan air dari atas gua. Di sekitarnya terdapat sejumlah ornamen lain tak kalah indahnya, seperti stalagtit (ornamen yang menjulur dari atas ke bawah), stalagmit (ornamen yang tumbuh dari bawah ke atas), dan microgours (ornamen berkerut-kerut). Bebatuan itu begitu bersih karena aliran atau tetesan air senantiasa melewatinya.

Di bagian utara, sebuah sungai bawah tanah mengalir deras. Ini merupakan bagian dari aliran Kali Suci, yang masuk dalam rangkaian sungai bawah tanah perbukitan karst. Saat aliran air sungai stabil pada musim kemarau, para penjelajah gua kerap menyusuri sungai ini dengan menggunakan perahu karet dan memasuki gua-gua lainnya, yang juga dialiri oleh sungai ini. Sayangnya, saat ini sedang musim hujan. Sehingga, jangankan untuk berperahu, menengok ke dasar sungai untuk melihat alirannya yang sangat deras itu saja sudah membuat hati bergidik.

nb: tulisan ini saya ambil dari berkas lawas, dan pernah dimuat di artikel perhajalanan-koran tempo pada tahun 2009.