Sekadar catatan kecil tentang HIV 😀
Saya ingat, waktu kali pertama bercerita pada teman, bahwa saya akan ke Kota Merauke. Satu hal yang mereka katakan adalah, bahwa saya harus berhati-hati agar tidak tertular HIV/AIDS. Kemudian saya tanya pada mereka kenapa harus sampai sebegitu khawatirnya? Teman saya kemudian menjawab, bahwa di Papua, para ODHA (Orang Dengan HIV dan Aids) memiliki perasaan sakit hati yang luar biasa, sehingga mereka dengan sengaja mengambil darah mereka dengan jarum suntik, dan menyuntikkannya ke tubuh orang-orang yang sedang naik angkutan umum ataupun di tempat-tempat umum lainnya.
Well, bisa di bilang itu sekadar urban le.gend milik pulau ini. Di Jogja sendiri pun, pernah saya dengar juga, bahwa para ODHA menaruh jarum-jarum suntik yang berisi darah mereka, di bangku-bangku bioskop. Tujuannya? Ya itu tadi, karena mau membagi si virus yang belum ditemukan obat pemberantasnya ini. Dan seperti halnya, sebuah urban legend, pasti sulit dibuktikan kebenarannya. Cerita-cerita tersebut, selalu diawali dengan: sepupunya teman saya, temannya adik saya, atau keponakannya tetangga dari kakak ipar saya, bahkan tidak jarang relasi objek yang diceritakan dengan si pencerita sangat jauh sekali. But, have you heard it from first person? Saya rasa tidak.
Bicara tentang HIV dan AIDS, saya pikir, hampir semua sudah pernah dengar menganai perkara ini. Tapi satu hal yang perlu saya luruskan lebih dahulu, bahwa HIV dan Aids adalah dua hal yang berbeda. HIV adalah si virus itu sendiri, yang menyerang kekebalan tubuh. Sementara AIDS adalah kumpulan penyakit, yang terjadi akibat diserangnya kekebalan tubuh. Jadi orang yang terkena HIV belum tentu berada pada tahap AIDS. Namun, ketika kondisi tubuh sudah sedemikian menurunnya, dan berbagai penyakit sudah menyerang tubuh (biasanya seperti TBC, sariawan mulut, kulit gatal-gatal, dsb) yang sudah tidak lagi dilindungi oleh antibodi, maka kumpulan penyakit itulah yang kemudian disebut tahap AIDS.
Pada proses penularan, virus HIV baru bisa menular jika ia berada pada media-media tertentu. Secara garis besar, media-media virus ini dibagi menjadi dua, yakni media dengan konsentrasi virus yang rendah, seperti keringat, air mata, air seni dan air liur. Dan media dengan konsentrasi virus yang tinggi, seperti darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu. Media-media tersebut memang dapat menghantar virus ke tubuh manusia, tapi perlu diingat, bahwa virus ini adalah virus pecundang. Di mana dia tidak sanggup menyerang antibodi manusia ketika jumlahnya hanya sedikit. Mereka bekerja secara keroyokan, dibutuhkan tujuh liter air liur untuk bisa menularkan HIV dari odha ke tubuh orang sehat. Dan adakah di antara kita yang sanggup melakukan berciuman lama hingga dapat memproduksi tujuh liter air liur?? I gues, nobody!
Selain harus bekerja a la pecundang, yang hobinya keroyokan, virus ini hanya dapat hidup dalam empat kondisi, yakni: (1) dalam suhu tubuh manusia, (2) dalam derajat keasamaan yang seimbang, (3) lingkungan yang lembab), dan (4) tidak ada kontak dengan atmosfir. Begitu salah satunya tidak terpenuhi, semisal sudah ada kontak dengan atmosfir, dalam tiga detik, virus ini akan mati. So, kalau kembali kepada cerita-cerita mengenai ODHA yang hilang akal, dengan menyuntikkan darah mereka dimana-mana, sehingga orang dengan HIV akan semakin banyak, sudah dipastikan itu adalah omong kosong.
Hampir satu bulan belakangan ini, saya mendapatkan pelajaran, bahwa ketidaktahuan kita dapat menyebabkan perilaku buruk terhadap orang lain. Terlebih dengan perkara HIV/AIDS ini. Ketidaktahuan saya mengenai proses penularan, media penularan, dan sebagainya, menyebabkan ketakutan yang luar biasa, mengenai hal-hal yang berbau HIV. Sampai kemudian, saya mengikuti sebuah workshop, dan bertemu langsung dengan ODHA. Dalam workshop tersebut, saya dihadapkan pada pertanyaan: “Apa yang kamu lakukan, seandainya orang yang kamu kenal, dan kamu sayangi, mendatangimu, dan berkata bahwa dirinya telah terinfeksi HIV?”. Dengan penuh idealis, saya katakan bahwa saya akan memeluknya.
Tetapi, tentu saja mudah diucapkan di bibir belum tentu mudah dilakukan. Selanjutnya terjadi adalah, seorang perempuan muda dengan satu anak, yang sudah dua hari duduk satu meja dengan saya, adalah salah seorang yang terinfeksi HIV. Saya cukup kaget pada saat itu, karena tentu saja pemikiran sesorang, tidak selalu dapat berbalik arah, ketika menemukan informasi-informasi baru, terkadang dibutuhkan waktu untuk mencernanya. Kemudian, dengan segenap keberanian saya, saya bertanya padanya “Bolehkah saya memelukmu?” dan dia bilang boleh. Saya memeluknya, untuk menunjukkan pada diri saya sendiri, bahwa memang tindakan saya ini tidak berbahaya.
Si ibu muda dengan satu anak ini, mendapatkan virus ini dari suaminya, yang dulunya sering mengkonsumsi obat-obatan terlarang lewat jarum suntik. Untungnya, anaknya sendiri, tidak ikut tertular, alias negatif dari HIV. Ya, orang dengan HIV bukan berarti kemudian tidak dapat melanjutkan hidup. Tanpa obat sendiri, selama ODHA menjalani gaya hidup sehat, dia dapat bertahan hidup selama beberapa tahun.
Ditemukannya obat ART/ARV membuat harapan ODHA menjadi lebih terbuka luas. Obat ini tentu saja tidak bisa digunakan untuk menyembuhkan, hanya bisa menekan jumlah virus. Ini artinya, ODHA dapat melakukan menajemen virus, yakni mengkonsumsi obat hingga pada jumlah terendah, melakukan hubungan seks dengan pasangan sekali di masa subur tanpa menggunakan kondom. Pada beberapa kasus, manajemen virus seperti ini, dapat berhasil pada percobaan pertama. Tetapi, ketika gagal, manajemen dilakukan dari awal lagi. Namun, yang perlu diingat adalah, sekali ODHA mengkonsumsi ART/ARV, maka seumur hidupnya harus meminum obat tersebut terus menerus. Dua kali sehari pada jam yang sama. Dalam beberapa kasus, ODHA yang menjalani hidup sehat, dan mengkonsumsi ART/ARV secara teratur dapat hidup hingga belasan bahkan puluhan tahun.
Merauke, 27 Oktober 2010